bks

Listrik Swasta

PEMERINTAH TAK DUKUNG BISNIS LISTRIK SWASTA

VIVAnews - Pemerintah disinyalir tidak konsisten dalam menerapkan pola Kemitraan Pemerintah-Swasta (public-private partnership/PPP) di sektor infrastruktur, khususnya kelistrikan.
Untuk membangun infrastruktur di Tanah Air, pemerintah membutuhkan dana sedikitnya Rp 1.429,3 triliun, namun hanya 31 persen atau Rp 451 triliun yang mampu disediakan pemerintah. Sisanya sebanyak Rp 978 triliun akan ditutup lewat penerapan kebijakan PPP.
"Pelaksanaan PPP tidak berjalan semestinya sampai saat ini. Sebab, ada ketidakonsistenan antara kebijakan PPP dan penerapannya," ujar pengamat ekonomi energi A Prasetyantoko melalui siaran pers yang diterima VIVAnews di Jakarta, akhir pekan ini.
 Menurut Pras, pemerintah tidak mendukung pertumbuhan pembangunan infrastruktur listrik oleh swasta. Padahal, pemerintah berharap swasta berperan dalam proyek infrastruktur kelistrikan. 
Dia mencontohkan, ketidasesuaian antara dan kebijakan (action against policy). Di satu sisi, pemerintah lewat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menciptakan kebijakan keterlibatan peran swasta. Di sisi lain, pemerintah (PLN) juga menghalangi swasta berkembang karena ingin mengerjakan sendiri semua proyek yang bisa dikerjakan swasta.
"Dalam konteks pelibatan swasta, PLN harus mampu membuat prioritas. PLN harus mengutamakan  pengerjaan proyek-proyek yang tidak mungkin dikerjakan swasta, baik karena tidak layak komersial (tapi mutlak harus dibangun) atau pun akibat adanya larangan regulasi seperti umpamanya transmisi, gardu induk, dan pembangkit-pembangkit di wilayah tertentu," ujar Pras.
Sedangkan proyek-proyek yang lain, Pras menambahkan, diserahkan sepenuhnya kepada swasta untuk mengerjakan. Menurut data Bank Dunia, keterlibatan swasta dalam proyek-proyek infratruktur termasuk listrik menunjukkan kenaikkan tren di beberapa negara berkembang. Namun, hal tersebut kurang berjalan dengan baik di Indonesia.
World Bank Report: Country Partnership Strategy for Indonesia Fy 2009-2012: Investing in Indonesia’s Institution for Inclusive and Sustainable Development menyatakan, pemerintah Indonesia mengakui pentingnya infrastruktur dasar untuk mempromosikan aktivitas sektor swasta, baik melalui PPP. Pemerintah Indonesia pun telah membentuk Komite Nasional Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) pada 2005.
KKPPI juga telah berhasil dalam mencegah proyek yang tidak layak untuk diwujudkan. Namun, tulis laporan Bank Dunia, hal tersebut belum membuat terobosan signifikan dalam mengembangkan proyek PPP yang transparan dan kompetitif peran swasta yang memiliki kapabilitas dalam membangun pembangkit perlu dikembangkan, karena swasta saat ini sudah memiliki jaringan terhadap terhadap pendanaan baik dari sumber domestik maupun via bank asing, terutama memiliki kompetensi teknikal untuk melaksanakan proyek.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi menambahkan, pemerintah harus berani membuat kebijakan menanggung risiko proyek listrik swasta agar menarik minat investor. Untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, misalnya, dirinya meminta pemerintah berani menanggung risiko eksplorasi.
"Ini sudah dilakukan di Filipina. Pemerintah negara itu berhasil mengembangkan listrik swasta," ujar Rinaldy yang juga guru besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia tersebut.
Rinaldy menuturkan, pemerintah tidak perlu khawatir bakal merugi dengan menanggung risiko eksplorasi, karena rasio keberhasilan dalam eksplorasi panas bumi di Indonesia mencapai 50 persen.

Swasta Mampu
Prasetyantoko juga mengharapkan, peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana dari  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan harus segera diterbitkan.  Pemerintah dan pelaku usaha tidak bisa hanya berpegang pada UU 30/2009, karena UU dinilai "Banci"
"UU itu di satu sisi memberikan peran kepada swasta untuk terlibat, tapi di sisi lain belum sepenuhnya menghapuskan monopoli PLN," katanya.
Menurutnya, tanpa pelibatan swasta, mustahil peningkatkan rasio elektrifikasi terwujud. Hingga 2009, rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 60 persen. Tahun ini, pemerintah menargetkan jumlah rumah tangga yang teraliri listrik di Tanah Air meningkat jadi 66 persen. 
Pemerintah sebelumnya menyatakan, investasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur harus terus ditingkatkan. Hal itu dipicu dana pemerintah untuk pembangunan proyek infrastruktur di tanah air sangat terbatas.
Diperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur untuk RPJM 2010 - 2014 mencapai Rp 1,429 triliun atau sekitar 3,94 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai investasi tersebut diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 4 - 5 persen per tahun.
Menurut Pras, swasta nasional memiliki kemampuan membiayai proyek infrastruktur listrik, baik dana sendiri maupun pinjaman dari luar negeri. Pinjaman dengan pola bisnis (business to busines/B to B) ini dinilai lebih tidak berisiko dibandingkan model pembiayaan selama ini, yaitu memanfaatkan pinjaman asing dengan skema kerja sama bilalteral (government to government/G to G) yang kerap memberatkan anggaran negara.
"Ada anggapan sumber dana G to G lebih murah, karena berupa soft loan (pinjaman lunak).  Namun, masyarakat atau bahkan pemerintah seolah mengabaikan adanya tambahan beban jaminan jaminan yang harus di sediakan pemerintah," katanya.
Selain harus dibayar melalui APBN, dia mengakui, utang dengan skema G to G acap dikaitkan dengan motif politik seperti kredit ekspor atau motif ekonomi dengan mensyaratkan keharusan adanya konsultan asing, kontraktor dan material proyek dari negara donor. Terlebih, sering pula proyek-proyek G to G ditungangi swasta dari negara kreditor, sehingga investasinya menjadi lebih mahal.
Sejak awal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden, menurut Pras, sebenarnya telah ada upaya mendorong swasta terlibat dalam pembangunan infrastruktur, khususnya di sektor ketenagalistrikan. 
Antara lain, dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005, tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Kebijakan yang ditelurkan Pemerintahan SBY ini dikenal dengan skema PPP atau pola kerja sama investasi pemerintah dan swasta.
Dalam tataran implementasi skema dalam perpres tersebut, menurutnya, tidak berjalan dengan baik. Penyebabnya, proyek-proyek kelistrikan yang menarik masih banyak dikerjakan pemerintah sendiri melalui PLN.
Sementara itu, swasta mendapatkan penawaran proyek-proyek yang kurang ekonomis. Sebab, tidak memberikan perubahan, kata dia, isi Perpres 67/2005 itu kemudian dimasukkan dalam revisi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Revisi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini, ditargetkan rampung pada Februari 2010. Tujuannya, memudahkan pemerintah memberi dukungan bagi kegiatan investasi di bidang infrastruktur, termasuk listrik.
"Namun tidak cukup hanya itu. Harus ada PP yang secara jelas mengatur tentang posisi swasta dalam penyediaan listrik untuk PLN," ujar Prasetyantoko.


Artikel Lainya :

Share this post!

Bookmark and Share

0 komentar: